Nama kapak persegi
berasal dari Von Heine Goldern berdasarkan penampang dari alat-alatnya
yang berbentuk persegi panjang atau trapezium. Tempat penemuan kapak
persegi di Indonesia adalah Sumatra, Jawa, Bali, Nusan Tenggara Timur,
Maluku, Sulawesi dan di Kalimantan. Pembuatan kapak-kapak ini
diperkirakan terpusat di beberapa tempat, dari dari sini menyebar ke
tempat-tempat lain.
Peningkatan
tarap hidup manusia dalam hal memenuhi kebutuhan hidup selalu bersamaan
dengan berkembangnya kemampuan dalam membuat alat-alat yang lebih maju.
Peningkatan kemampaun dalam membuat peralatan ini terlihat dari hasil
yang ditemukan pada masa bercocok tanam, ternyata lebih maju bila
dibanding dengan masa berburu. Masa bercocok tanam di Indonesia dimulai
kira-kira bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengupam alat-alat
batu serta dikenalnya pembuatan gerabah. Tradisi mengupam alat-alat
batu telah dikenal luas di kalangan penduduk kepuauan Indonesia.
Bukti-bukti peninggalan memperlihatkan tingkat kronologis serta
hubungannya dengan daratan Asia Tenggara dan Asia Timur.
Alat-alat yang pada umumnya diasah (diupam) adalah kapak dan kapak
batu, yang di beberapa tempat pengupaman juga dilakukan pada mata panah
dan mata tombak. Kapak dan kapak batu ditemukan tersebar di seluruh
kepulauan dan sering kali dianggap sebagai petunjuk umum tentang masa
bercocok tanam di Indonesia.
Penemuan di luar Indonesia
Di luar Indonesia alat semacam ini ditemukan juga di Malaysia,
Thailand, Vietnam, Khmer, Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia.
Pada umumnya kapak persegi berbentuk memanjang dengan penampang lintang
persegi. Seluruh bagiannya diupam halus-halus, kecuali pada bagian
pangkalnya sebagai tempat ikatan tangkai. Tajamannya dibuat dengan
mengasah bagian ujung permukaan, bagian bawah landai ke arah pinggir
ujung permukaan atas. Dengan cara demikian diperoleh bentuk tajaman yang
miring seperti terlihat pada tajaman pahat buatan masa kini. Ukuran dan
bentuknya bermacam-macam, bergantung pada penggunaannya. Yang terkecil
ialah semacam pahat yang berukuran panjang kira-kira 4 cm dan terpanjang
kira-kira 25 cm dipergunakan untuk mengerjakan kayu.
Di Indonesia
Nama
kapak persegi itu berasal dari Von Heine Goldern, berdasarkan kepada
penampang-alang dari alat-alatnya, yang berupa persegi panjang atau juga
berbentuk trapezium. Yang dimaksud dengan kapak persegi itu bukan hanya
kapak persegi saja, tetapi banyak lagi alat-alat lainnya dari berbagai
ukuran dan berbagai keperluan; yang besar yaitu kapak atau pacul, dan
yang kecil yaitu tarah, yang tentunya digunakan untuk mengerjakan kayu.
Alat-alat itu semuanya sama bentuknya, agak melengkung sedikit, dan
diberi tangkai yang diikat kepada tempat lengkung itu.
Kapak persegi di Indonesia ini terutama ditemukan di wilayah Sumatra,
Jawa, Bali, Nusan Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan di Kalimantan.
Bahan yang digunakan untuk membuat kapak persegi kebanyakan menggunakan
batu api dan batu Kalcedon. Pembuatan kapak-kapak ini diperkirakan
terpusat di beberapa tempat, dari dari sini menyebar ke tempat-tempat
lain. Hal ini berdasarkan pada tempat penemuan kapak persegi di beberapa
tempat yang tidak memiliki bahan batu api, yang digunakan sebagai bahan
pembuatannya, sedangkan di pusat pembuatannya banyak sekali ditemukan
kapak persegi yang semunya telah diberi bentuk namun masih kasar atau
belum dihaluskan. Hal ini menandakan kalau kapak persegi dihaluskan oleh
pemakainya bukan pembuatnya. Adapun perkiraan pusat-pusat dari
pembuatan kapak persegi antara lain di dekat Lahat (Palembang), dekat
Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya (Jawa Barat), di daerah Pacitan
(Madiun) dan lereng selatan Gunung Ijen (Jawa Timur). Di desa Pasirkuda
dekat Bogor bahkan ditemukan sebagai batu asahan.
Tempat Situs Penelitian
Perhatian
terhadap kapak dan kapak terupam halus di Indonesia mulai diberikan
sekitar tahun 1850 oleh beberapa ahli dari Eropa. Waktu itu, bahan studi
hanya berasal dari temuan lepas yang kurang jelas umur atau asalnya.
Pengumpulannya diusahakan oleh sebuah perkumpulan swasta (antara
1800-1850) yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetwnschappen. Koleksi perkumpulan ini disimpan di Museum Nasional,
Jakarta. Hal tersebut sebenarnya diilhami oleh karangan terkenal G.E.
Rumphius yang terbit pada tahun 1705 di Amsterdam, berjudul D Amboinsche
Rariteitenkamer. Dalam buku tersebut terdapat bagian yang membicarakan
alat-alat batu yang disangka buatan alam. Pendapat ini sama dengan
anggapan orang kebanyakan pada waktu itu, dan juga sekarang di antara
kalangan penduduk, yang menganggap kapak batu sebagai gigi kilat atau
gigi guntur.
Setelah tulisan Rumphius itu, perhatian terhadap benda-benda
prasejarah itu lenyap lagi. Berselang kira-kira satu setengah abad
lamanya, barulah muncul beberapa pendapat dari C. Swaying dan W. Vrolik
(1850), serta C. Leemans (1852). Buku karangan Leemans itu merupakan
karya pertama yang menyajikan pemaparan yang baik terhadap alat-alat
batu prasejarah di Indonesia. Pada waktu itu ia menjabat sebagai
direktur museum barang kuno di Leiden. Karyanya didasarkan atas koleksi
benda-benda prasejarah yang dikirimkan dari Indonesia oleh rekannya,
Swaying. Hal seperti itu dilakukan juga oleh J.J. van Limburg Brouwer
yang hasilnya terbit pada tahun 1872. Lima belas tahun berikutnya
(1887), terbit karya C.M. Pleyte yang pada dasamya memberikan ikhtisar
tentang zaman batu, terutama tentang kapak persegi dan kapak lonjong di
Indonesia dan merintis pemikiran ke arah pelaksanaan klasifikasi dan
distribusi jenis benda tersebut.
Dasar-dasar pemikiran inilah rupa-rupanya mengilhami karya dua orang
sarjana kenamaan P.V. van Stein Callen-fels dan It von Heine Geldern
dalam pembahasannya tentang distribusi dan kronologi kapak dan kapak
lonjong di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1920-an. Sangat
disayangkan bahwa usaha-usaha yang berharga dari Pleyte dan para
peneliti sebelumnya itu hanya didasarkan pada sumber-sumber yang
diperoleh tanpa melakukan penggalian arkeologis, tapi lebih mengandalkan
pada temuan-temuan yang nampak di atas permukaan tanah. Selanjutnya,
berkembanglah penelitian-penelitian berupa penggalian-penggalian yang
intensif berkat jasa Stein Callenfels.
Stein Callenfels mencoba menyusun kronologi alat-alat batu dari masa
bercocok tanam, terutama atas dasar tipe-tipe kapak dan kapak persegi.
Atas dasar tersebut tercapailah empat tingkat perkembangan. Tiap-tiap
tingkat diwakili oleh bentuk-bentuk tertentu. Tingkat yang paling tua
mempunyai bentuk yang paling sederhana dan tingkat-tingkat selanjutnya
menunjukkan perkembangan yang lebih maju. Tingkat yang paling akhir,
menurut pendapatnya, dibawa oleh orang-orang yang menggunakan bahasa
Indonesia. Pendapat seperti ini, terutama pendekatan atas dasar
tipologi, pada tingkat penelitian dewasa, kurang meyakinkan karena tidak
disertai dengan kelengkapan data statigrafi.
Pengetahuan kita tentang masa bercocok tanam di Indonesia sebenarnya
sangat terbatas karena data arkeologis belum terungkap secara lengkap.
Penelitian berupa ekskavasi-ekskavasi baru dilakukan di beberapa tempat
di Jawa dan Sulawesi. Dari tempat-tempat lain, bahannya hanya berupa
temuan lepas yang berhasil dikumpulkan dari permukaan tanah pada waktu
melakukan survei lapangan atau sebagai hasil pembelian dari penduduk.
Pengolahan data menjadi sulit karena konteks asli dengan lapisan tanah
yang mengandungnya ataupun hubungannya dengan tingkat budaya lain tidak
dapat diikuti dengan tepat.
Penelitian di Sulawesi dilakukan di pinggir Sungai Karama di
desa-desa Sikendeng, Minanga Sipakka, dan Kalumpang. Penggalian di
Sikendeng (sebuah desa yang terletak beberapa kilometer dari muara)
dilakukan oleh A.A. Cense dan Stein Callenfels pada tahun 1933.Hasil
penggalian tersebut terdiri dari kapak-kapak persegi dan sejumlah
kereweng polos (tak berhias). Selanjutnya, pada tanggal 25 September
sampai dengan 17 Oktober 1933, Stein Callenfels meneruskan penelitiannva
ke arah lulu Sungai Karama (93 km dari muara) di dekat Desa Kalumpang,
di atas bukit kecil Kamasi. Stein Callenfels mencatat temuan berupa
beberapa buah kapak persegi terupam halus, kereweng-kereweng polos dan
dan ada pula yang berhias dalam jumlah cukup banyak, kapak-kapak
setengah jadi (calon kapak), sebuah kapak bahu yang masih kasar,
fragmen-fragmen gelang batu, mata panah yang terasah, pisau batu atau
bilah-bilah pisau batu bertajaman miring yang menunjukkan persamaan
dengan temuan di Tembiling (Malaysia), dan beberapa kapak perimbas.
Karena pentingnya penemuan di Kalumpang itu, HR. van Heekeren
melakukan penggalian ulang di tempat yang sama pada tahun 1949 (23
Agustus-September 1949). Penggalian dilakukan pada lereng selatan bukit
Kamasi, sedangkan Stein Callenfels melakukan penggaliannya di lereng
timur. Dalam laporannya Heekeren mengatakan bahwa tempat tersebut telah
hancur keadaannya sebagai akibat dari kegiatan pertanian yang
berulang-ulang dilakukan oleh penduduk setempat. Lapisan tanah yang
mengandung budaya prasejarah telah bercampur aduk dengan yang lainnya.
Di sini ia menemukan tempat perpaduan tradisi kapak persegi dengan
tradisi kapak lonjong, tetapi masa perkembangan tiap-tiap tradisi
tersebut di Kalumpang belum dapat diketahui dengan pasti karena lapisan
budaya yang mewakili kedua tradisi tersebut telah bercampur baur.”
Selain jenis kapak persegi yang umum, di Kalumpang ditemukan pula jenis
kapak berbentuk biola dan kapak batu sederhana. Kapak bentuk umum dibuat
dari batuan rijang (chert) berwarna kelabu dan hijau, sedangkan kapak
biola dari batu sabak. Ekskavasi Heekeren menghasilkan juga mata panah
dan mata tombak yang diasah, calon-calon kapak, sebuah pemukul kulit
kayu, dan sebuah bendy lambing phallus dari terakota.
Heekeren juga menemukan sebuah situs lain yang cukup kaya akan
penemuan prasejarah di Minanga Sipakka (1 km sebelah barat Kalumpang).
Dari guguran tebing Sungai Karama di Minanga Sipakka, ia berhasil
menemukan kapak-kapak lonjong, calon-calon kapak, sebuah pukul kulit
kayu, dan sejumlah kereweng polos dan berhias. Penemuan ini terjadi
ketika ia dalam perjalanan pulang dari Kalumpang. Heekeren menduga bahwa
temuan-ternuan di Minanga Sipakka ini berasal dari masa yang lebih tua.
Namun ternyata jenis kapak persegi tidak ditemukan di tempat ini.
Guna memperoleh keterangan tentang umur temuan-temuan di Kalumpang,
W.F. van Beers telah melakukan penelitian geologi. Atas dasar hasil
penelitian itu umur Kalumpang ditaksir amat muda, yaitu 1.000 tahun yang
lalu. Heekeren menempatkan kira-kira paling sedikit 600 tahun yang lalu
dan dianggap sebagai contoh retardasi budaya sebagai akibat dari sikap
sosial yang terisolasi rapat dari dunia luar.
Penggalian di Jawa dilakukan oleh Heekeren terhadap sebuah situs
Kendenglembu (Banyuwangi) pada tahun 1941. Tempat ini mula-mula
ditemukan oleh W. van Wijland dan J. Buurman dalam tahun 1936. Karena
hasil penggalian Heekeren serta catatan-catatannya telah lenyap akibat
keadaan kacau ketika perang Dunia II, diputuskan untuk melakukan
penggalian pada tahun 1969. Penggalian ulang tersebut dilakukan oleh
Lembaga Purbakala dan peninggalan Nasional di bawah pimpinan RP.
Soejono.”
Penggalian tersebut menghasilkan dua lapisan budaya yang batasnya
agak jelas. Lapisan pertama (paling atas) mengandung lapisan historis
yang temuannya antara lain terdiri dari uang kepeng, fragmen keramik,
gerabah-gerabah berhias (dari masa Majapahit), dan pecahan bata. Lapisan
kedua (di bawah lapisan pertama) mengandung kapak persegi,
kereweng-kereweng polos berwama merah, sejumlah kapak setengah jadi,
batu-batu asahan berhias, dan serpih-serpih batu yang pada urnumnya
tidak dapat ditemukan sebagai alat. Benda-benda temuan dari lapisan
kedua tersebut memberikan petunjuk tentang perbengkelan dan tempat
tinggal masyarakat bercocok tanam.
Penyelidikan selanjutnya berupa penelitian lapangan di beberapa
daerah penemuan serta penggalian percobaan. Penggalian percobaan pernah
dilakukan di Leles (Kabupaten Garth, Jawa Barat) pada tahun 1968, dan di
Kelapadua (Cimanggis, Kabupetan Bogor) pada tahun 1971. Leles tidak
banyak menghasilkan kapak. Kapak dari Leles hampir semuanya berasal dari
temuan-temuan lepas yang ditemukan pada waktu survei. Umur yang lebih
menonjol berupa alat-alat obsidian yang menunjukkan banyak persamaan
dengan alat-alat obsidian dari Bandung.
Lokasi temuan kapak persegi di DKI Jaya antara lain: di Kampung
Kramat, Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramat Jati; yang diteliti oleh
tim Teguh Asmar, Dirman Surachmat, dan Made Sutavasa, pada tahun 1968.
Penelitian ini kemudian dilakukan lagi pada tahun 1971, 1977, 1979,
1980, dan 1982. Temuan berupa kereweng, fragmen, kapak, serpih, batu
asap, dan kapak persegi berjumlah 4 buah. Situs pejaten, Kelurahan
Pejaten Kecamatan Pasar Minggu. Situs ini digali oleh Dinas Museum DKI
pada tahun 1973 dan 1974. Hasil temuan berupa kereweng, fragmen dan
kapak persegi utuh, fragmen cetakan kapak dari tanah liat yang dibakar,
gelang dan cincin perunggu, fragmen alat besi, terak besi, dan bulatan
dari tanah liat, fragmen cawan berkaki, batu asahan, dan serpih.
Situs Condet, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, diteliti
oleh Dinas Museum DKI tahun 1976, 1977, 1979, dan 1980. Temuan berupa
kereweng, batu asahan, serpih, fragmen kapak persegi, fragmen logam,dan
bulatan tanah. Tanning Barat, Kelurahan Tanjung Barat, Kecamatan
Jagakarsa, diteliti tahun 1983 oleh Dinas Museum DKI. Flash temuan
berupa kereweng, serpih batu asahan, cetakan dari tanah liat, terak
besi, moluska, dan sisa tulang binatang. Pondok Cina, Kelurahan Pondok
Cina, Kecamatan Beji, Depok. Penelitian dilakukan oleh Dinas Museum
tahun 1984. Hasil temuan berupa serpih, dari penduduk diperoleh 5 buah
kapak persegi.
Tempat penemuan di Klapadua yang terletak di tepi sungai Ciliwung
ternyata telah hancur karena erosi dan akibat kegiatan pertanian oleh
penduduk. Sisa-sisanya hanya sedikit yang ditemukan dalam ekskavasi.
Sebagian besar benda temuan berasal dari permukaan tanah. Walaupun
demikian, dapatlah dipastikan bahwa Klapadua pernah didiami manusia.
Pecahan kapak ditemukan berserakan di permukaan tanah. Batu-batu asahan
dan pecahan gerabah tak berthas ditemukan di permukaan tanah sampai ke
tepi sungai. Tempat ini diduga sebagai perbengkelan dan tempat tinggal
yang menghasilkan kapak-kapak. Ini yang terjadi di tempat¬-tempat lain
di Jawa Barat, seperti di Purwakarta, Tasikmalaya, dan di sekitar Bogor.
Daerah pantai utara Jawa Barat, yang memanjang dari Tangerang hingga
Rengasdengklok juga menghasilkan banyak kapak persegi. Koleksi dari
daerah ini umumnya merupakan basil pembelian dari penduduk yang
melakukan penggalian liar atau menemukan secara kebetulan ketika
mengerjakan sawah, jalan desa, atau kebun.Tempat-tempat temuan di pantai
Rengasdengklok terletak di sepanjang daerah aliran sungai Bekasi,
Citarum, Ciherang, dan Ciparage. Unsur-unsur dari masa yang lebih muda
lebih banyak memperlihatkan pengaruhnya di tempat-tempat tersebut dan
kemudian mempengaruhi daerah pedalaman melalui keempat sungai tersebut.
Situs Pasir Angin, Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten
Bogor diteliti sejak tahun 1971-1975, dan 1991-1995 oleh Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional. Temuan beragam berupa artefak logam,
artefak batu, manik-manik, dan kapak persegi, fauna, arang, dan
sebagainya.”
Situs Panumbangan, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi,
tahun 1954 Erdbrink pernah melakukan penelitian di wilayah ini dan
menemukan panah, serpih, dan bor. Pada tahun 2000 dan 2003 tim dari
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah ini.
Hasil temuan berupa serpih, colon kapak persegi, oleh penduduk
ditemukan beberapa kapak persegi. Situs Cipari, Kelurahan Cipari,
Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, diteliti oleh T. Asmar tahun
1972-1978.Hasil temuannya berupa peti kubur batu, artefak logam,
gerabah, gelang batu, dan kapak persegi. Situs Limbasari, Kecamatan
Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, diteliti oleh Balai Arkeologi
Yogyakarta pada tahun 1981-1983. Hasil temuannya berupa kapak persegi,
calon kapak persegi, alat serpih, batu pukul, dan batu asah.
Tipar Ponjen, Kelurahan Ponjen, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten
Purbalingga, diteliti tahun 1984. Hasilnya berupa bahan gelang batu,
fragmen gelang batu, fragmen calon kapak persegi, kapak persegi, batu
asah, tatal batu, dan batuan.” Situs Ngerijangan, Desa Sooka, Kecamatan
Punung, Kabupaten Pacitan, sejak awal abad ke-19 telah diteliti oleh
para ahli, antara lain, Koeningswald, Marks, Flathe dan Pfeiffer,
Verstappen, Balasz, Sartono, Soejono, Tweedie, Movius, Heekeren, dan
Barstra. Penelitian terutama dilakukan di situs Padangan, Ngerijang,
Sengon, dan Ngerijangan. Ratusan pecahan rijang sebagai produk buangan
pembuatan kapak persegi dan mata panah ditemukan tersebar. Temuan utama
dari situs ini adalah kapak persegi, calon kapak, mata panah, calon mata
panah, dan serpih.
Bentuk dan jenis
Berbicara
mengenai sebuah peralatan, tentunya kita tidak akan terlepas dari yang
namanya sebuah bentuk dasar, ada beberapa variasi yang kita kenal dari
kapak persegi. Variasi yang paling umum ialah “belincung”, yaitu kapak
punggung tinggi, karena bentuk punggung tersebut penampang lintang
berbentuk segitiga, segi lima, atau setengah lingkaran. Belincung dan
kapak pada umumnya dibuat dari jenis batuan setengah permata dan
tergolong benda yang terindah dalam perbendaharaan kapak-kapak batu di
dunia. Variasi ini biasanya ditemukan di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan
Bali. Belincung ditemukan pula di Semenanjung Malaya dan istilah yang
digunakan untuk jenis benda ini ialah kapak paruh. Jenis kapak yang
berpenampang lintang setengah lingkaran dengan garis dasar lebih kurang
cekung itu oleh Heekeren digolongkan sebagai jenis “kapak perisai”,
karena bentuknya menyerupai perisai lonjong. Jenis kapak ini terutama
ditemukan di Jawa dan luar Indonesia. Bentuk semacam ini juga terdapat
pula di Polinesia Timur. Variasi-variasi lain telah ditemukan di
kepulauan Indonesia sebagai temuan-temuan lepas dan jumlahnya tidak
begitu banyak.
Sudah dikatakan bahwa variasi yang paling umum dari kapak persegi
adalah kapak yang ditemukan di Jawa, Sumatra, dan Bali. Selain itu, ada
pula variasi-variasi lain seperti kapak bahu, kapak tangga, kapak atap,
kapak bentuk biola, dan kapak penarah. Bentuk-bentuk variasi ini
ditemukan di beberapa daerah saja dan jumlahnya pun sangat terbatas.
Tempat-tempat penemuannya terutama di daerah utara dan daerah timur
kepulauan Indonesia. Variasi-variasi kapak persegi merupakan instruksi
dari luar dan bentuk-bentuknya menunjukkan persamaan dengan
bentuk-bentuk di daerah luar Indonesia yang menyebar dari Cina melalui
kepulauan-kepulauan di utara Indonesia ke arah Polinesia Timur.
Variasi-variasi yang khas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Kapak bahu sederhana. Jenis ini khusus ditemukan di Kalumpang.
Tangkainya dipersiapkan secara kasar dan tidak rapi, serta tidak
sesimetris seperti pada tangkai kapak bahu yang umum tersebar di daratan
Asia. Pengupaman dilakukan pada sebagian permukaan alat, terutama pada
bagian tajaman. Jenis kapak sederhana ini juga ditemukan di Cina
(Sechwan, Kwantung), Jepang, Taiwan, dan Filipina (Botel Tobago).
Kapak tangga hanya beberapa buah ditemukan di Sulawesi, tetapi di
luar Indonesia jenis ini tersebar di Cina Selatan, pantai timur daratan
Asia Tenggara, Taiwan, dan Filipina. Bagian pangkal pada permukaan alas
alat dibuat lebih rendah, seakan-akan merupakan tangga turun setingkat,
guna memperkukuh ikatan pada tangkai. Sebuah bentuk lain yang sangat
jarang dan juga ditemukan di Sulawesi adalah kapak gigir. Sebuah gigir
yang sejajar dengan garis lebar pangkal kapak dibuat di permukaan atas
dengan cara memukul-mukul batu sampai tercapai bentuk gigiran tersebut.
Variasi semacam ini telah ditemukan di pulau-pulau Taiwan, Hoifu (Hong
Kong), Luzon, dan Selandia Baru.
Kapak atap tersebar di Jawa Timur, Bali, dan kepulauan Maluku. Di
luar Indonesia jenisnya dijumpai di Polinesia Timur. Alat ini tebal
dengan kedua sisi sampingnya miring ke arah permukaan bawah sehingga
membentuk penampang lintang berbentuk trapesium.
Kapak biola ditemukan hanya di Kalumpang bersama-sama dengan kapak
batu sederhana. Kedua sisi sampingnya cekung sehingga alatnya menyerupai
biola. Bentuk penampang lintangnya agak lonjong. Pengupaman dilakukan
sekadarnya pada permukaan alat, khususnya pada tajaman. Jenis alat ini
terdapat juga di Jepang, Taiwan, dan Botel Tobago.
Kapak penarah. Bentuk alat ini panjang dengan penampang lintang
persegi empat yang sisi-sisinya cembung atau penampang lintangnya hampir
bundar, tajamannya cekung di bawah. Jenis kapak ini umumnya berukuran
besar dan hanya beberapa berukuran kecil. Yang berukuran besar mungkin
digunakan untuk menarah batang pohon guna membuat sampan. Alat ini
ditemukan di Jawa Timur dan Bali. Jenis alat ini terdapat pula di
Selandia Baru dan di Polinesia Timur.
Beberapa variasi lain yang menarik adalah kapak batu yang berbentuk
khusus dan kapak persegi yang menerima pengaruh dari bentuk kapak
perunggu. Kapak bahu yang berbentuk khusus itu mempunyai gagang yang
panjang, bahu cekung, mata kapak yang pendek, dan tajaman yang
berpinggiran cembung serta miring. Sebuah dari variasi ini ditemukan di
daerah Bogor (Jawa Barat), yang berwarna cokelat kekuningan dan sebuah
lain lagi ditemukan di Kalumpang, yang berwarna kehitaman. Kapak yang
menerima pengaruh bentuk kapak perunggu memperlihatkan tajaman yang
melebar, melebihi ukuran leher kapaknya sendiri. Variasi ini ditemukan
terbatas di Jawa Barat (sekitar Tangerang dan Jakarta) dan di Jawa
Tengah (Gunung Kidul).
Dari temuan-temuan lepas dapat diketahui persebaran kapak persegi,
termasuk bentuk-bentuk variasinya di Sumatra (Bengkulu, Palembang,
Lampung), Jawa (Banten, Bogor, Cibadak, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon,
Pekalongan, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogyakarta, Wonogiri, Punung,
Surabaya, Madura, Malang, Besuki), Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor,
Adonara, Ternate, Maluku, dan Sangihe Talaud. Di antara tempat-tempat
tersebut ada yang dapat diperkirakan sebagai bengkel-bengkel kapak
persegi seperti di desa Bungamas, Palembang (antara Lahat-Tebing
Tinggi), di Karangnunggal (Tasikmalaya), di desa Pasir Kuda (Bogor), di
daerah pegunungan Karangbolong dekat Karanganyar (Jawa Tengah), dan di
Punung dekat Pacitan (Jawa Timur).
Kalau kita ikuti daerah penemuan kapak-kapak tersebut, dapat
dikatakan bahwa jenis-jenis kapak persegi berkembang luas di Kepulauan
Indonesia, terutama di daerah kepulauan bagian barat. Suatu hal yang
harus kita ingat ialah bahwa kapak-kapak persegi telah dibuat sendiri di
beberapa tempat yang daerahnya menyediakan bahan mentah. Punggung kapak
pada umumnya memperlihatkan perimping-perimping dan patahan-patahan
pada tajaman yang membuktikan penggunaan secara intensif. Kapak-kapak
yang ditemukan dalam keadaan utuh diduga mempunyai fungsi magis atau
digunakan sebagai benda tukar dalam sistem perdagangan sederhana.
Pemasangan pada tangkai
Apabila
pada zaman paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung
dipenggang dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat lain. Lain
halnya dengan zaman neolitikum, mereka pada masa itu sudah mengenal
tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan
sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan
memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung
tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian
diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada kedua cara ini, mata kapak
dipasangkan vertikal.
Penambahan alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan
sebuah inovasi yang mampu dikembangkan oleh manusia pada zaman
prasejarah. Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan yang lebih baik
dan efisien, termasuk kenyamanan dalam menggunakannya. Tangkai kapak
atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya.
Kayu-kayu tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk
memasang mata kapak atau kapak persegi dan mudah dalam memegangnya.
Sumber Rujukan:
Bellwood, Peter, (2000). Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Driwantoro, Dubel, dkk, (2003). Potensi Tinggalan-Tinggalan Arkeologi di Pulau Nias, Prov. Sumatera Utara. Jakarta: Puslit Arkenas dan IRD (tidak diterbitkan).
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia jilid I (Zaman Prasejarah di Indonesia). Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. (1990). “Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius
Soejono, R.P. (ed.), (1990). Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bellwood, Peter, (2000). Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Driwantoro, Dubel, dkk, (2003). Potensi Tinggalan-Tinggalan Arkeologi di Pulau Nias, Prov. Sumatera Utara. Jakarta: Puslit Arkenas dan IRD (tidak diterbitkan).
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia jilid I (Zaman Prasejarah di Indonesia). Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. (1990). “Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius
Soejono, R.P. (ed.), (1990). Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
No comments:
Post a Comment