Dolmen sudah ada
sejak masa Neolitik. Dolmen adalah sebuah meja terbuat dari batu, besar,
berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian atau persembahan.
Sebagai media upacara pemujaan, dolmen ini ternyata tidak hanya
ditemukan di Indonesia, namun juga ditemukan di Eropa, Afrika, dan
beberapa negara Asia lainnya.
Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat
tersebut tidak diganggu binatang buas. Maka kaki mejanya diperbanyak
sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Mereka percaya apabila terjadi
hubungan yang baik di antara si mayat dengan yang masih hidup, akan
menghasilkan harmonisasi dan keselarasan bagi kedua belah pihak. Hal ini
menunjukan bahwa masyarakat pada masa itu meyakini akan adanya sebuah
hubungan antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup.
Dolmen diperkirakan mulai dikenal dalam masyarakat Indonesia pada zaman bercocok tanam. Menurut pengamatan Hoop, dolmen
yang paling baik terdapat di Batucawang. Papan batunya yang berukuran 3
x 3 meter dengan tebal 7 cm, terletak di atas empat buah batu
penunjang. Salah satu dolmen yang digali di Tegurwangi diduga berisi
tulang-tulang manusia. Tetapi benda-benda lain yang dianggap sebagai
bekal kubur tidak ditemukan.
Selain dolmen, di daerah ini banyak ditemukan patung-patung batu,
yang diduga merupakan patung nenek moyang. Di antara dolmen-dolmen
tersebut juga ditemukan menhir. Serta dolmen yang papan batunya
ditunjang oleh enam batu tegak.
Tradisi setempat menyatakan bahwa tempat ini merupakan pusat kegiatan
upacara pemujaan nenek moyang dan tempat untuk penguburan. Temuan
dolmen-dolmen lainnya terdapat di Pamatang dan pulau Panggung, dan di
kedua tempat ini pula ditemukan patung batu. Daerah temuan lainnya
adalah Nanding, Tanjungara, Pajarbulan (di sini dolmen ditemukan
bersama-sama dengan lesung batu), Gunungmegang, Tanjungsakti, Pagerdewa,
Lampung Barat dan Sumbawa.
Masyarakat masa bercocok tanam
memiliki ciri khas yang sesuai dengan perkembangan penemuan-penemuan
barunya. Nilai-nilai hidup semakin berkembang dan manusia pada waktu itu
tidak lagi menggantungkan hidupnya pada alam. Mereka sudah “menguasai”
alam lingkungan sekitarnya dan aktif membuat perubahan-perubahan.
Sebagai masyarakat petani, penduduk sudah dapat memproduksi makanan
sehari-hari. Salah satu segi yang menonjol dalam masyarakat adalah sikap
terhadap kehidupan yang sudah mati. Kepercayaan bahwa roh seseorang
tidak lenyap pada saat orang tersebut meninggal, sangat memengaruhi
kehidupan manusia. Roh dianggap mempunyai kehidupan di alamnya
tersendiri setelah ia melewati kematian.
Dolmen-dolmen yang masih dapat disaksikan sampai sekarang
mempunyai bentuk-bentuk luar biasa besarnya, sehingga kadang-kadang
sulit dibayangkan bagaimana batu besar dan dengan berat berton-ton itu
dapat diangkut. Pengangkutan batu setinggi dua meter lebih, tentunya
menggunakan cara dan teknik tersendiri untuk bisa mengangkutnya.
Besar tiang-tiang penyangga biasanya disesuaikan dengan besar batu
datarnya. Semakin besar batu datar maka semakin besar pula tiang
penyangganya.
Tradisi megalitik di pulau Sumba
merupakan hal yang menarik. Tidak hanya bentuk-bentuknya yang sangat
besar dan beratnya hingga berton-ton, melainkan keunikan ini tampak pada
pelaksanaan upacara-upacara saat mendirikan bangunan tersebut; mulai
dari usaha pencarian batu, pengangkutan batu maupun saat upacara
memasukkan mayat ke dalam dolmen. Semuanya itu merupakan kegiatan yang menjadi satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
Sumber Rujukan:
Poesponegoro, M.D. dkk. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. (1990). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius
Kabar dari Sumba. [Online]. Terdapat di. http://hansitta.inilahkita.com/2009/11/11/kabar-dari-sumba/ [08-01-10]
http://www.wacananusantara.org/arsitektur-nusantara/
http://www.wacananusantara.org/arsitektur-nusantara/
No comments:
Post a Comment